Wall Street Merosot Akibat Kekhawatiran Inflasi dan Tarif Impor
Pasar saham Amerika Serikat mengalami penurunan tajam pada hari Jumat, dipicu oleh kekhawatiran inflasi dan rencana Presiden Trump untuk menerapkan tarif timbal balik terhadap mitra dagang. Dow Jones Industrial Average anjlok 444 poin (0,99%) ke angka 44,303.40, S&P 500 turun 0,95% ke 6,025.99, dan Nasdaq Composite merosot 1,36% ke 19,523.40. Penurunan ini membuat indeks-indeks utama mengakhiri pekan dalam zona merah.
Pernyataan Presiden Trump tentang rencana tarif timbal balik, yang akan diumumkan secara resmi pekan depan, meningkatkan kecemasan pasar. Hal ini terjadi setelah data sentimen konsumen dan laporan pekerjaan bulan Januari menunjukkan tanda-tanda peningkatan inflasi. Sentimen konsumen turun ke 67.8, lebih rendah dari ekspektasi para ekonom. Lebih mengkhawatirkan lagi, responden dalam survei tersebut memperkirakan inflasi tahunan mencapai 4,3%, level tertinggi sejak November 2023. Laporan pekerjaan juga menunjukkan penurunan tingkat pengangguran ke 4%, namun disertai dengan kenaikan upah rata-rata per jam yang lebih tinggi dari perkiraan.
Penurunan saham diperparah oleh kinerja beberapa perusahaan teknologi besar. Saham Amazon anjlok 4% setelah proyeksi pendapatan kuartal pertama yang mengecewakan. Alphabet juga melanjutkan tren penurunannya setelah hasil keuangan yang kurang memuaskan di awal pekan. Analis Sam Stovall dari CFRA Research menilai penurunan ini sebagai rotasi dari saham teknologi besar dan bukan pertanda pasar beruang, meskipun ia memperkirakan volatilitas dan kekecewaan jangka pendek akan berlanjut.
Minggu ini memang penuh gejolak. Pasar saham sempat turun pada hari Senin setelah pengumuman tarif impor 10% terhadap Tiongkok oleh Presiden Trump, meskipun rencana tarif 25% terhadap Kanada dan Meksiko kemudian ditunda. Namun, kejatuhan pada hari Jumat meniadakan kenaikan selama tiga hari sebelumnya.
Di tengah penurunan ini, beberapa perusahaan justru mencatat kinerja positif. Bank of America menaikkan peringkat XPO Logistics, sementara saham Expedia melonjak hampir 15% setelah laporan pendapatan kuartal keempat yang melampaui ekspektasi. Sebaliknya, Doximity justru mengalami lonjakan 37% berkat kinerja keuangan yang kuat. Sebanyak 35 saham S&P 500 mencapai level tertinggi 52 minggu, termasuk beberapa nama besar seperti Meta Platforms, Netflix, dan Walmart. Namun, 17 saham lainnya, termasuk Nike dan Ford, mencapai titik terendah 52 minggu.
Pergerakan ini juga memicu perdebatan mengenai indikator Super Bowl. Analis Ryan Detrick dari Carson Group berpendapat bahwa kemenangan Philadelphia Eagles akan membawa dampak negatif bagi pasar saham, merujuk pada peristiwa-peristiwa historis terkait kemenangan tim tersebut. Sementara itu, Sam Stovall menekankan bahwa data historis bukanlah jaminan untuk masa depan.
Di sektor lain, berkembangnya dana derivatif kripto juga menjadi sorotan. Beberapa ETF yang menggabungkan eksposur bitcoin dan derivatif memasuki pasar, menunjukkan dinamika yang cepat di industri ini di bawah pemerintahan Trump.
Secara keseluruhan, penurunan pasar saham pada hari Jumat mencerminkan keraguan investor terhadap prospek ekonomi dan kebijakan perdagangan di tengah meningkatnya tekanan inflasi. Ketidakpastian ini diperkirakan akan terus mewarnai pergerakan pasar dalam beberapa waktu ke depan.